BERKELIT DIMASA SULIT

Berkelit di Masa Sulit (Bagian 3)
Kategori Individual
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 5/29/2008

Berapa Kompetensi Kita Dalam Menghadapi Perubahan ?


Tiga Kelompok
Dulu, sekitar tahun 50-an sampai akhir 70-an, menurut analisis para pakar manajemen, perubahan di dunia industri itu digambarkan seperti air tenang yang mengalir. Metafora ini menjelaskan bahwa perubahan saat itu bisa dibaca sebab-sebabnya, tanda-tandanya, dan polanya pun tidak membingungkan.

Tetapi setelah tahun itu, perubahan yang kerap terjadi di dunia kerja itu sudah tidak seperti air tenang yang mengalir lagi. Perubahan yang terjadi lebih tepat dimetaforakan dengan istilah arus jeram. Gelombangnya dahsyat, ombaknya tak karuan, sebab-sebabnya tidak terdeteksi, dan polanya pun lebih sering membingungkan.

Seperti yang kita alami sejak di awal-awal krisis, kejadian buruk yang terjadi di dunia luar sana ikut mempengaruhi kehidupan kita di tingkat pribadi, dimana pun kita tinggal, profesi apapun yang kita sandang, atau mata uang apapun yang kita pakai. Meskipun yang naik itu harga minyak mentah dunia, entah apa sebabnya, tetapi kenaikan itu mempengaruhi besaran ongkos kita pergi ke kantor, mempengaruhi biaya makan siang, mempengaruhi belanja dapur bulanan, dan seterusnya.

Terlepas kita suka atau tidak suka, menyalahkan faktor eksternal atau menyalahkan siapa saja, tetapi sebetulnya dunia ini hanya ingin melihat bagaimana kita mengoperasikan seluruh kapasitas yang kita miliki dalam meresponi perubahan yang seperti arus jeram itu. Secara teori sering dijelaskan bahwa bagaimana seseorang menghadapi perubahan itu hasilnya bisa dikelompokkan menjadi tiga di bawah ini:

1. Kelompok pemenang (the winner). Kelompok ini mendapatkan untung (secara materi atau non-materi) dari perubahan dengan melakukan adaptasi, menciptakan kreasi, atau meraih prestasi yang lebih tinggi lagi.
2. Kelompok pecundang (the loser). Kelompok ini akhirnya menjadi korban dari perubahan. Mereka larut, hanyut, atau lari menghindari perubahan dengan reaksi yang tidak produktif
3. Kelompok potensial (potential winner atau loser).Kelompok ini berada di tengah yang belum jelas kemana arahnya. Mungkin akan masuk ke kelompok winner dan mungkin juga akan masuk ke kelompok loser.

Dalam prakteknya, hasil di atas sangat mungkin sekali tidak terjadi secara otomatik. Ada yang butuh proses lama dan ada yang sebentar. Atau juga mungkin masuk ke kelompok ketiga dulu. Misalnya saja ada sekelompok karyawan yang di-PHK karena perusahaan sudah tidak bisa lagi menanggung biaya operasional yang tinggi. Untuk pertama kalinya, semua karyawan itu memiliki reaksi emosi yang bisa dibilang sama atau mirip sama, misalnya: sedih, menolak, bingung, merasa tak berdaya, terhantui oleh rasa malu yang bakal terjadi, dan lain-lain.

Nah, yang sebetulnya akan membedakan mereka bukan reaksi emosi pertama itu. Mereka akan dibedakan oleh apa yang akan mereka lakukan setelah peristiwa buruk itu terjadi (emosi kedua). Pemenang akan cepat menghentikan reaksi pertama yang negatif dengan mendatangkan emosi kedua yang positif. Sebaliknya, pecundang akan menambah bobot reaksi pertama yang negatif itu menjadi semakin negatif.

"Kebanyakan orang terlalu lama melihat kesuraman,
sehingga tidak bisa melihat peluang yang sudah datang"


Tiga Kompetensi Kunci
Bagaimana supaya kita bisa menjadi kelompok pemenang? Bagaimana supaya kita tidak masuk ke dalam kelompok pecundang? Bagaimana supaya kita tidak terlalu lama menjadi bagian kelompok potensial yang belum jelas? Secara tehniknya, pasti naluri kita sudah mengajarkan sesuatu. Cuma, kalau kita sejenak membahas dari sisi konsepnya, mungkin kita bisa belajar dari temuan-temuan di bidang olahraga (sport psychology).

Kajian di bidang olahraga punya temuan yang bisa kita jadikan acuan. Agar seorang atlit itu bisa tampil di lapangan dengan bagus, entah dia dulu seorang juara atau bukan, atlit itu harus memiliki tiga modal utama. Pertama adalah modal mental, kedua adalah modal tehnik, dan ketiga adalah modal fisik atau material.

Baik dari kajian dan pengalaman, modal mental ternyata punya porsi peranan yang paling besar, meskipun berbeda-beda prosentase yang diakuinya. Ada yang menyebutnya 50%, 80%, dan bahkan ada yang mengatakan sampai 90%. Jika mengacu ke sini, berarti kita semua sudah punya sebagian besar modal untuk menjadi winner dalam menghadapi masa sulit ini.

Pertanyaannya adalah, modal mental seperti apa yang kita butuhkan? Kalau mengacu ke konsep kompetensi dalam manajemen, ada tiga modal mental yang paling inti agar kita menjadi orang yang efektif dalam menghadapi perubahan (personal effectiveness) atau winner. Apa saja ketiga modal mental itu?


1. Pengendalian diri (Self Control)
Modal mental pertama adalah kemampuan menggunakan (mengontrol) berbagai ledakan emosi (self-control). Orang yang rendah kemampuannya di sini akan reaktif dan terus reaktif (terbawa hanyut ke dalam situasi yang sulit). Sedangkan orang yang tinggi kemampuannya di sini akan cepat proaktif (punya kesadaran untuk memilih yang positif). Untuk mengecek sejauh mana kita punya kemampuan di sini, kita bisa melihat petunjuk di bawah ini:

Rendah


Menengah


Tinggi

Anda mudah kehilangan kendali, mudah frustasi, mudah meluapkan ekspresi emosi secara meledak-ledak, atau tidak efektif dalam menjalankan aktivitas karena emosi yang tidak terkontrol


Anda sudah sanggup memberikan respon dengan tenang dan mendiskusikannya secara fair


Anda bisa memberikan respon secara konstruktif: bisa membangun yang lebih positif dan mengantisipasi problem

Anda tidak tahan terhadap berbagai tekanan atau himpitan


Anda sudah bisa mengelola tekanan secara efektif, tidak mempengaruhi hasil pekerjaan atau tidak mempengaruhi proses pekerjaan


Anda sudah bisa menenangkan diri anda dan orang lain atau sanggup memainkan peranan sebagai leader

Anda sudah bisa mengontrol emosi tetapi belum bisa menggunakannya secara konstruktif







2. Kepercayaan diri
Modal mental kedua adalah kepercayaan-diri (pede). Seperti yang sudah kita bahas di sini, pede adalah sejauhmana kita punya keyakinan atas kemampuan yang kita miliki berdasarkan alasan, bukti, atau semangat yang positif untuk mewujudkan tujuan atau untuk mengatasi masalah. Orang yang pede-nya rendah akan terus menuding faktor eksternal dengan tujuan hanya untuk menuding. Sebaliknya, orang yang pede-nya tinggi akan cepat act on decision (memutuskan langkah perbaikan sebagai panggilan tanggung jawab). Kalau saat ini kita merasa belum pede (rendah), kita bisa meningkatkannya dengan cara-cara di bawah ini:

* Lakukan hal-hal yang sanggup kita lakukan sampai bisa melihat bukti (hasil) bahwa ternyata kita mampu. Ini bisa kita pilih dari apa yang sudah kita bahas di Bagian Kedua. Semakin banyak bukti yang sanggup kita kumpulkan, bahwa ternyata kita sanggup mewujudkan rencana dan sanggup mengatasi masalah, maka semakin kuatlah pede kita.
* Melihat orang lain yang sudah berhasil dan sangat mungkin bisa kita ikuti langkah-langkahnya (learn from others). Kalau mental kita sedang down, jangan mencari orang lain yang sedang down juga. Nanti bisa malah tambah down. Temukan orang lain yang bisa meng-inspirasi.
* Menambah pengetahuan dengan berbagai cara, entah membaca buku, artikel, mendengarkan ceramah, dan lain-lain. Intinya, kita perlu mengganti atau mengisi pikiran ini dengan masukan-masukan positif
* Memperkuat keimanan pada Tuhan. Misalnya saja: kalau kita masih dikasih hidup, pasti tidak ada masalah apapun yang bisa membuat kita mati. Misalnya lagi, sesulit apapun masalah yang kita hadapi, pasti masih ada sesuatu yang bisa kita lakukan.
* Dan lain-lain


3. Kemampuan berpikir
Modal mental ketiga adalah kemampuan berpikir. Ini sebetulnya sudah kita bahas di Bagian Pertama. Intinya, kemampuan berpikir ini terkait dengan sejauhmana kita bisa membuat target, sasaran, atau arah pengembangan dan perbaikan yang akurat (bisa kita capai dari keadaan kita), sejauhmana kita bisa membedakan masalah eksternal dan internal, persepsi dan fakta (analitis), dan sejauhmana kita bisa melihat berbagai kemungkinan yang bisa kita tempuh (kreatif).

Nah, apa yang sudah kita bahasa di Bagian Kedua itu, tentang hal-hal yang bisa kita lakukan, dari yang paling tidak ideal sampai ke yang paling ideal, itu semua adalah cara-cara untuk melatih kemampuan berpikir. Yang perlu kita jauhi adalah, jangan sampai kita mempertahankan diri hanya karena untuk kepentingan egoisme-kebenaran-sendiri sehingga langkah kita terjepit karena salah berpikir. Atau juga terobsesi mendapatkan hasil besar dengan cara cepat tanpa dibekali pengetahuan yang akurat tentang diri.

"Satu-satunya yang membuat seseorang lari dari masalah
adalah kepercayaan-diri yang rendah"
(Mohammad Ali, mantan petinju)


Self-Directed Change Theory
Apa yang sudah kita bahas di awal Bagian Pertama, tentang perubahan buruk, itu memang ada yang bisa diantisipasi dan ada yang tidak bisa. Tahu-tahu perubahan buruk itu sudah di depan mata dan kita sama sekali belum siap menghadapi pukulannya, seperti yang terjadi pada saat ini. Cuma, tidak berarti pintu kita untuk mengembangkan diri sudah tertutup total.

Dalam learning, ada teori yang disebut Self-Directed Change Theory (SDCT). Teori ini mengajarkan tentang bagaimana kita bisa mengubah diri ke arah yang lebih baik dari kenyataan hidup yang kurang mendukung. Kalau kita tidak bisa mengantisipasi perubahan, maka kita perlu menjadikan perubahan itu sebagai dorongan untuk mengubah diri. Bagaimana caranya? Menurut teori SDCT itu, caranya adalah:

* Perlu memunculkan rasa tidak puas terhadap kondisi aktual yang kita hadapi saat ini (actual)
* Perlu memiliki gambaran yang jelas tentang kondisi ideal yang kita inginkan (ideal)
* Perlu memiliki konsep yang jelas tentang apa yang bisa kita lakukan untuk bergerak dari kondisi aktual menuju kondisi ideal (Action Step)

Tiga langkah di atas harus berupa satu rangkaian yang tak terpisah. Kalau sampai terpisah, akibatnya malah jelek. Misalnya saja kita merasa tidak puas dengan keadaan sekarang, tetapi rasa itu tidak kita gunakan untuk memunculkan gambaran yang jelas tentang keadaan yang kita inginkan dan tidak pula kita gunakan untuk mendorong aksi, apa kira-kira yang terjadi? Yang paling berpotensi akan muncul adalah konflik-diri.

Tapi sebaliknya, kalau kita sanggup mengelola ketidakpuasan itu menjadi dorongan untuk mendinamiskan batin, pasti hasilnya jauh lebih bagus. Tentu saja hasil itu ada yang cepat bisa kita nikmati dan ada yang lama, tergantung kita. Intinya, jangan sampai ketidakpuasan itu menjadi killer (pembunuh). Syukur-syukur kita berhasil menjadikannya sebagai miracle (mukjizat).

"Rahasia pengalaman saya dalam meraih prestasi adalah punya kemauan untuk belajar bagaimana menggunakan kesengsaraan sebagai dorongan positif.
Jika kamu melakukan ini, maka kamu akan bisa mengontrol hidupmu.
Tapi jika tidak, kamulah yang akan dikontrol"
(Extracted from: Anthony Robbins)

Tidak ada komentar: